Teknologi informasi dan komunikasi adalah relevan untuk beberapa strategi bagi pembangunan pertanian dan pedesaan, termasuk memperbesar akuntabilitas publik dan desentralisasi pelayanan yang bisa merespon kebutuhan orang-orang dikawasan pedesaan (Hafkin and Odame, 2002). Lebih lanjut Alex et.al. (2002) menambahkan bahwa revolusi teknologi informasi dan komunikasi saat ini memperluas media pengiriman informasi ke petani baik secara langsung maupun tidak langsung melalui para penyuluh teknis baik dari pemerintah maupun perusahaan agribisnis swasta.
Saat ini sektor pertanian sedang berubah menjadi lebih kompetitif. Dalam situsi ekonomi global, pertanian di negara Asian termasuk Indonesia berkompetisi dengan pertanian dari segala penjuru dunia untuk memperebutkan pasar. Pasar menjadi semakin kompleks dan menjadikan negara-negara berkembang sulit bersaing dengan negara maju. Sebagian besar negara berkembang hanya mengandalkan keunggulan komparatif sumber daya alamnya, padahal negara maju sudah menggunakan keunggulan kompetitifnya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk berkompetisi di persaingan global adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Penerapan TIK dalam pertanian yang paling mendasar adalah teknis budidaya, proses pengolahan dan pemasaran.
Penerapan TIK dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dikemas dalam metode e-learning. Di negara kita, e-learning sudah mulai banyak digunakan terutama di dunia pendidikan terutama di perguruan tinggi. Di dunia bisnis, beberapa perusahaan publik dan swasta sudah menggunakannya bahkan pemerintah setiap tahun menyelenggarakan pemberian “The best award” bagi perusahaan yang sudah menggunakannya. Tercatat perusahaan besar seperti BNI, Bank Mandiri, BII, Indosat, Telkom, Garuda Indonesia dan beberapa perusahaan lainnya sudah menggunakan teknologi ini dalam training karyawannya (e-training). Salah satu faktor mengapa perusahaan-perusahaan ini menggunakan e-learning adalah diperolehnya banyak keuntungan sistem ini seperti efektifitas waktu dan biaya training.
Di negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan petani sudah menggunakan e-learning untuk menerima transfer teknologi dan informasi dari pemerintah maupun dari perusahaan swasta penyedia sarana produksi pertanian. Sedangkan di kawasan negara Asian seperti Malaysia, Thailand, Philipina sudah mulai mengadopsi sistem ini meskipun masih dalam tahap awal.
Metode e-learning bisa dilakukan secara synchronous (langsung) dengan menggunakan chating, video conference streaming maupun kombinasi keduanya. Bisa juga dilakukan dengan ansynchronous (tidak langsung) seperti email, penyediaan materi yang bisa di download di website provider e-learning.
Di Jepang, Korea dan Taiwan e-learning ini dilakukan dengan kelompok-kelompok tani bisa berupa materi manajemen praktis, paket budidaya komoditas tertentu misalnya paket budidaya melon, budidaya ayam petelur, proses pengolahan papaya dan lain-lain. Sedangkan informasi dan ramalan pasar selalu di update tiap hari di website provider e-learning, sehingga petani bisa mengatur masa panen dan tanamnya pada saat yang tepat.
Yang menjadi permasalahan adalah sudah siapkah petani kita menggunakan e-learning yang berbasis internet (e-petani). Mengingat mereka sebagian besar berada di pedesaan dan berpendidikan rendah. Hal ini sebenarnya juga merupakan stereotype negara-negara Asia yang maju, sebagian besar petani mereka juga berada di pedesaan dan relatif lebih rendah pendidikan dibanding masyarakat kota. Namun mengapa mereka bisa mengatasinya ?. Hal ini disebabkan penggunaan internet ini hanyalah merupakan ketrampilan yang tidak sulit untuk dipelajari, seperti handphone yang saat ini digunakan hampir seluruh masyarakat kota maupun desa dengan berbagai strata pendidikan.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Microsoft dalam uji cobanya di CTC (Community Technology & Learning Center) di Desa Pasir Waru, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Propinsi Banten cukup diminati masyarakat disana. CTC Mancak memberikan pelatihan keterampilan berkomputer pada petani di Desa Pasir Waru dan sekitarnya. Yang akhirnya menunjukkan secara langsung ilmu yang bisa didapatkan melalui computer atau lebih tepatnya ilmu yang bisa didapatkan dari internet.
Informasi dari Detikinet.com (6 Juni 2008) memberikan beberapa ilustrasi dari para petani yang menggunakan internet. Pendi, seorang petani kelapa di Pasir Waru, mengaku menjalankan usaha pembuatan minyak kelapa dengan fermentasi basah setelah mempelajarinya di internet. Pak Entus, petani ini meminta anaknya untuk belajar ke CTC dan mencari cara-cara beternak ikan lele. Dia bilang, “awalnya saya nggak langsung percaya. Saya lakukan studi banding ke wilayah lain yang telah sukses (mengembangkan ikan lele dumbo-red). Ternyata sama caranya dengan yang di internet” papar Pak Entus. Satu lagi, peternak kambing bernama Santari justru berani belajar komputer meskipun usianya sudah terbilang cukup tua. Lewat akses internet di CTC, Santari mengaku bisa mengetahui cara-cara menangani ternaknya yang bermasalah, misalnya terkena penyakit tertentu. Meski sudah bisa memanfaatkan komputer, Santari mengaku masih belum terbiasa. “Kalau saya sih (latihan komputer-red) paling satu bulan lah. Bahkan saya kalau pegang itu mouse-nya juga bergetar-getar, ” papar Santari.
Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa adopsi TIK ke petani bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan saat ini. Hal ini menuntut keseriusan dan kerja keras stakeholder komunitas pertanian secara utuh. Oleh karena itu sepatutnyalah kita dukung bersama Menkominfo yang mencanangkan internet masuk desa awal 2010 dan Departemen Pertanian yang melaksanakan program FEATI untuk implementasi TIK bagi para petani (e-petani). Majulah petani Indonesia
Oleh : Sutrisno Hadi Purnomo
Koleksi Artikel
http://sutrisnohadiuns.wordpress.com/2009/05/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar